Penulis: Leonard Wilar
Editor: Rikson Karundeng
Langowan – Di desa Palamba, ada sebuah tradisi yang biasa disebut “Pasiar Jalan”. Warisan berharga para leluhur di wilayah Kecamatan Langowan Selatan, Kabupaten Minahasa yang terus dipelihara hingga hari ini. Sebuah tradisi yang menyimpan nilai pengikat tali persaudaraan sekaroong, masyarakat sekampung.
Tradisi “Pasiar Jalan” berlangsung setiap tahun, secara khusus di momen-momen spesial. Ketika perayaan Natal, Tahun Baru, dan “Kunci Tahun” di akhir bulan Januari, masyarakat desa berkumpul untuk saling mengunjungi dalam suasana kekeluargaan.
Pada 2 Januari 2025, saya bersama anggota keluarga lainnya yang datang dari kota Tomohon, berkesempatan mengunjungi opa kami di Palamba. Opa Hert Sambur, sosok teladan yang biasa kami sapa Opa Eret. Beruntung, kami dapat menikmati tradisi istimewa itu bersama keluarga dan merasakan hangatnya kebersamaan masyarakat Palamba.
Sore itu, cuaca cerah dan udara segar mengiringi langkah kami menuju lokasi tempat “Pasiar Jalan”. Masyarakat menyebut lokasi tempat berkumpul itu “tumpukan”. Keluarga-keluarga yang tinggal di tempat itu sudah menyediakan kursi di depan rumah, dan mempersilahkan tamu untuk duduk. Siapa saja bisa pasiar, baik masyarakat Palamba maupun orang-orang dari luar desa.
Tumpukan pertama ada di Jalan Toar. Master of Ceremony (MC) memandu acara tradisi “Pasiar Jalan”. Sebelum melangkah, diawali dengan doa, kemudian ucapan selamat datang dari seorang anggota keluarga yang tinggal di area tumpukan. Selanjutnya ada sambutan dari tokoh masyarakat di sekitar tumpukan dan dilanjutkan dengan puji-pujian dari keluarga-keluarga yang tinggal di lokasi Tumpukan.
Setelahnya, makawale di tempat itu memberikan jamuan kepada tamu yang hadir. Jamuan sederhana namun kaya makna berupa kue, minuman, dan makanan yang memang disiapkan untuk tamu-tamu yang hadir.
Usai rangkaian acara pertama itu, perjalanan dilanjutkan ke tumpukan lain di wilayah berbeda di desa ini. Musik bambu “Milenium” kebanggaan masyarakat Palamba mengiringi perjalanan menuju tumpukan berikutnya. Perjalanan ini membawa kami ke empat tumpukan lainnya di Jalan Talete, Jalan Kuntung, Lorong Pendidikan, dan berakhir di Tempok.
Di setiap tumpukan, ada seorang makawale menyampaikan kesan di tahun 2024 dan pesan untuk tahun 2025. Ada banyak hal yang mereka ucapkan, namun ada hal yang sama yakni, syukur atas berkat Tuhan.
Tradisi ini sudah ada jauh sebelum Opa Eret lahir pada tahun 1943. Kata Opa, ini cara untuk memuliakan Tuhan dan berbagi berkat dengan sesama.
Vera Sambur, yang akrab disapa Ma’ Eya, menjelaskan saat mengunjungi tiap tumpukan, sangat penting untuk menunjukkan penghargaan atas pemberian dari makawale atau pemilik rumah.
“Setiap tamu yang datang selalu membawa kantong plastik untuk menyimpan makanan dan minuman yang diberikan,” kata Ma’ Eya.
Menurutnya, itu bentuk penghargaan kepada makawale yang dengan Tulus ikhlas telah menyiapkan itu untuk diberikan kepada para tamu. Kesadaran untuk menghargai pemberian dari makawale, sudah jadi bagian dari masyarakat desa Palamba. Sehingga, tamu dari luar desa pun selalu diingatkan oleh saudara, kerabat atau teman yang mereka kunjungi di Palamba, agar ketika Pasiar Jalan selalu menerima pemberian yang diberikan oleh makawale.
“Bukan karena suka basaput ato ba bungkus. Dorang (makawale) mo tersinggung kalo torang nda mo ambe itu pemberian,” terang Ma’ Eya.
Sering perkembangan waktu, tradisi Pasiar Jalan ternyata ikut mengalami sedikit perubahan. Maxi Telap, seorang warga desa Palamba ketika kembali ke kampung untuk berkumpul bersama keluarga saat Tahun Baru 2025, menceritakan bahwa pada tahun 1980-an, makanan dan minuman yang akan diberikan ke para tamu sudah diletakkan di atas meja di tengah jalan. Bangku-bangku yang akan menjadi tempat duduk sudah diatur berjejer di pinggir jalan.
Kini, bangku-bangu yang terbuat dari kayu sudah berubah menjadi kursi plastik. Makawale menyajikan jamuan langsung kepada tamu dari dalam rumah ke depan rumah.
“Kalau sekarang, itu tuan dan nyonya rumah masih ada yang di dalam rumah, kong tamu ja duduk di dalam. Kalau dulu, torang pas Pasiar Jalan, itu kukis-kukis, minuman, bir, cap tikus, so taru di atas meja kong so di tengah jalan. Nda ada yang di dalam rumah,” ungkap Maxi.
“Nilainya tetap sama meski cara penyajiannya berbeda,” ucap Maxi sembari menegaskan jika yang terpenting dari tradisi ini adalah rasa syukur dan kebersamaan.
Pasiar Jalan yang kami lalui diakhiri dengan tarian polineis dan katrili di tumpukan terakhir. Gerakan yang energik dan penuh semangat menjadi simbol perayaan sukacita masyarakat desa Palamba.
Lebih dari sekadar tradisi, Pasiar Jalan adalah perwujudan nilai luhur yang mengajarkan tentang syukur, kebersamaan, dan penghargaan terhadap sesama. Di tengah arus modernisasi, masyarakat desa di wilayah adat Minahasa-Tontemboan ini tetap menjaga tradisi itu dengan kesadaran sebagai warisan budaya yang harus dilestarikan dan terus diwariskan bagi anak-cucu.